Wednesday, January 15, 2014

Suku Mentawai



Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.
Suku mentawai adalah suku kuno yang bertinggal di kepulauan mentawai.
bagian dari sumatra barat dan utara.
asal usulnya yang menjadi perdebatan menjadikan suku itu suku yang misterius.
ada yang berpendapat termasuk bangsa polynesia ada yang berpendapat merupakan bangsa proto-malayan (melayu tua).
SUKU KUNO MENTAWAI YANG TERLUPAKAN
Di provinsi Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak kekhasan. Suku tersebut adalah suku Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari satu suku/uma dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa uma/suku.
Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai banyak tinggal di kampung-kampung. Kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besar atau Uma. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat

Agama/kepercayaan masyarakat Mentawai adalah Arat Sabulungan. Arat berartiadat dan Sabulungan berarti bulu. Agama ini memiliki pandangan bahwa segala sesuatu yang ada, benda mati atau hidup memiliki roh yang terpisah dari jasad dan bebas berkeliaran di alam luas. Saat ini agama masyarakat Mentawai sudah bervariasi. Hal ini mengingat sudah banyak yang memeluk agama Islam atau Kristen. Dalam pemahaman masyarakat Mentawai bukan manusia saja yang memiliki jiwa.  Hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda memiliki jiwa. Selain jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, seperti di laut, udara, dan hutan belantara.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan. Hal itu terlihat dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai. Para lelaki mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang.  Untuk para wanita, mereka menutup tubuh bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju.
Dalam hukum adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan. Masyarakat Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus isebut lakokaina. Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan sampan, merambah/membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma maka biasanya dilakukan secara bersama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan/upacara.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri.
Dalam berladang, khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga menggunakan peralatan-peralatan tertentu.  Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara buruan. Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.
A.   Sejarah Singkat Suku Mentawai
Mentawai merupakan sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sumatra Barat. Kabupaten Mentawai sendiri, terletak sekitar 85-135 km dari pantai Sumatera Barat, dengan luas daratan kurang lebih 7000 km². Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten kepulauan yang terletak memanjang dibagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia.  Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik, dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Adapun suku asli yang tinggal di daerah ini, yaitu suku Mentawai. Suku Mentawai merupakan salah satu bukti keanekaragaman budaya Indonesia yang eksotik dan tak ternilai harganya.
Suku ini termasuk suku terasing yang hidup primitif di tempat terpencil. Geografis Mentawai memang sangat jauh dari wilayah Indonesia yang lain. Sebagai gambaran, jika perjalanan dimulai dari wilayah terdekat, yakni dari pelabuan teluk Bungus Padarig, dibutuhkan waktu sekitar 10 sampai 12 jam menggunakan Kapal Ferry untuk sampai ke kepulauan Mentawai. Oleh sebab itu, suku ini kurang dikenal, tidak jarang salah sangka mengenai keberadaannya. Cara hidup dan budaya masyarakat Mentawai menjadi suatu misteri. Masyarakat Mentawai sering dicampur adukkan dengan suku Dayak di Kalimantan. Secara fisik, kedua suku tersebut memiliki kemiripan, bahkan dengan suku di belahan bumi lain, seperti di Hawai, Marchesi, dan Fiji yang berasal dari Lautan Teduh.
Tulisan ini merupakan catatan objektif mengenai kehadiran suku Mentawai yang memiliki nilai sosial budaya bagi bangsa Indonesia. Nama mentawai diambil dari bahasa asli penduduk setempat, yaitu “SiMateu”. Ada pula yang beranggapan Mentawai berasal dari kata “ Simatalu”, yang berarti Yang Maha Tinggi. Simatalu ini juga merupakan nama sebuah daerah yang menurut cerita dahulu merupakan daerah yang menjadi tempat bermukim lelaki dari Nias yang bernama Amatawe. Sehingga dewasa ini dikenal sebagai tanah Mentawai. Selain itu, orang Mentawai disebut orang Pagai oleh orang-orang dari daratan Sumatra, terutama masyarakat Sumatra Barat.
B.   Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai
Orang-orang Mentawai memiliki tipe Melayu Polinesia. Beberapa ahli berpendapat demikian karena berdasarkan anatomi para ahli terhadap tubuh masyarakat Mentawai tergambar, sebagai berikut :


• Berkulit kuning
• Bermata sipit
• Menggunakan cawat atau penutup aurat dari bahan kulit kayu
Sementara menurut Neuman, sejak dahulu Pulau Sumatra telah dihuni oleh orang-orang Polinesia yang kemudian diusir oleh orang Melayu yang datang. Kemudian sisa-sisa Polinesia menetap di Kepulauan Mentawai. Menurut Rosenberg, orang Mentawai memiliki kesamaan ciri dengan penduduk Hawai, Marchesi dan Fiji yang berasal dari Lautan Teduh. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Ady Rosa, yang menyumbangkan hasil penelitiannya, yaitu selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris(54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumbadi Sumatera Barat. Sedangkan Bikmore, Mess dan Moris berpendapat bahwa orang Mentawai benar adanya orang Melayu, sama seperti orang Sumatra lainnya. Diperkuat oleh Oudemans yang mengatakan bahwa rumpun penduduk Mentawai serumpun dengan orang Batak dan orang Batu di Kepulauan Nias.
Meskipun ciri-ciri orang Mentawai hampir mirip dengan suku lainnya, namun karakteristik yang terlihat secara latenlah yang membedakan kepribadian suku Mentawai. Ditunjukkan dari seni, kebiasaan, dan adat. Antara suku Mentawai dengan suku lainnya yang berada di sekitar Mentawai terlihat sangat berbeda. Pada hunian mereka tak dijumpai peradaban batu besar (menhir, dolmen& batu kubur). Fakta ini disebabkan oleh lokasi baru huniannya, atau karena kecilnya unit populasi migran hingga kurang tenaga untuk membangun artefak-artefak batu. Beberapa peralatan berburu dan rumah tangga dari batu di Mentawai, sudah lama digantikan logam yang didatangkan dari Sumatera. Temuan secarahistoris, bahwa 500.000 tahun lalu (zaman Pleistocene), diperkirakan Kepulauan Mentawai terpisah dari daratan Sumatra oleh naiknya permukaan air laut. Sejak itulah pulau ini terisolasi.
Persebaran suku Mentawai tidak terelalu luas, buktinya mereka hidup berkelompok dan sangat tergantung pada alam. Gugusan pulau di Kepulauan Mentawai sebenarnya cukup banyak, namun yang dihuni hanya 4 pulau besar, yaitu Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora. Selain itu, alam yang selalu tidak bersahabat yang menyebabkan Mentawai tidak selalu dikenal orang. Butuh semangat dan keberanian tersendiri untuk datang ke kepulauan yang masih jarang dikunjungi ini.Mereka bermukim di kampung-kampung yang berfungsi sebagai tempat bermukim saja. Mereka hanya memanfaatkan pekarangan untuk ditanami tebu yang digunakan airnya.


Kampung tersebut berada di sungai-sungai pedalaman dan sebagian di dekat pantai. Pada dasarnya, kampung Mentawai dibagi menjadi dua, yaitu kampung asli Mentawai dan kampung pemukiman Departemen Sosial. Kampung asli terdapat 3 macam rumah. Uma, rumah induk besar yang digunaakan untuk menyimpan benda-benda pusaka, untuk melakukan upacara dan menyimpan tengkorak hasil buruan. Tiap uma dipimpin seorang “Rimata”. Biasanya lelaki yang bijak & berpengalaman, tapi ada juga yang dipilih berdasar keturunan. Rimata sebenarnya pemimpin adat uma itu sendiri. Kalau ada yang dianggap pelopor biasanya adalah orang yang ahli dibidangnya, dan tidak harus orangtua berpengalaman. Hubungan uma satu dengan yang lain dijaga denganikatan pernikahan. Uma disekat-sekat menjadi kamar yang ditempati oleh orang yang sudah menikah.
Sekat-sekat tersebut yang dinamakan lalep. Lalep merupakan jenis rumah ke dua. Jika Uma sudah penuh, maka rumah yang dibangun untuk anggota suku Mentawai yang sudah menikah itu dinamakan Lalep. Rusuk merupakan rumah jenis ke tiga untuk menginap para pemuda atau anak-anak muda dan janda yang diusir dari kampung. Ada pula yang disebut dengan sikumang, adalah pondok untuk para janda yang terusir. Mereka terenak  babi. Rumah mereka memiliki laibokat atau laibo dan balapat ka tei-tei. Yaitu beranda depan dan beranda belakang. Laibokat di labio merupakan tempat yangdigunakan saat terjadi perbincangan kecil atau menerima tamu. Di bagian belakang ada puturukat untuk menari, dan ada purusuat untuk perapian. Tiang utama uma disebut ugala. Tiang kedua adalah kalabai. Kerangka rumah dari kayu bakau, lantai dari batang nibung dan dinding dari kulit kayu, sedang atapnya daridaun sagu.
Kampung pemukiman Departemen Sosial merupakan rumah-rumah yang berbaris dengan rapi saling berhadapan sepanjang jalan desa berbentuk panggung dengan kerangka balok kayu ukuran 6m x 12m. Di rumah tersebut terdapat 2 kamar berlantai dan dinding papan, beratapkan seng. Metologi masyarakat Mentawai mengatakan bahwa mereka berasal di pulau Siberut. Merka di ciptakan di Simatalu dan kemudian menyebar ke daerah pulau sekitarnya. Penyebabnya beragam, seperti perpecahan keluarga kekerabatan, proyek pemukiman Departemen Sosial, penduduk migrasi dari pulau lain untuk keperluan berdagang, atau masyarakat lain seperti Minangkabau, Batak, Jawa,Tiong Hoa, Hokian, Kek, bangsa Barat dan sebagainya. Pergeseran ini juga disebabkan oleh rendahnya angka pertambahan penduduk yg dikarenakan tingginya kematian bayi.  Mobilitas amat kecil, namun ada juga mobilitas karena sekolah dan berdagang. Sekolah para Mentawai ke sekolah katolik karena adanya tangan penggubah para misionaris Katolik dan Kristen. Meskipun mereka dianggap sebagai kaum perampas budaya dan jati diri suku Mentawai, memaksa penduduk  Mentawai amnesia terhadap kearifan lokal mereka, namun para pendeta dan pastur ini memberikan sumbangan ilmu terhadap suku tersebut. Hal ini menyebabkan distorsi budaya yang dibuktikan dengan berkurangnya masyarakat Mentawai yang percaya terhadap Adat Bulungan, kebiasaan adat titi dan cara berpakaian mereka, berdagang rotan atau manau.

Gaharu atau samuite yang dipasarkan ke Padang dan Pekanbaru merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan sebagian penduduk suku Mentawai yang mengerti monetary (keuangan). Masyarakat suku Mentawai memiliki ketrampilan dalam pengurusan tanah menjadi ladang.
 Selain berburu hewan buruan, seperti babi, monyet, dan lain sebagainya mereka berladang keladi yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Di ladang tersebut didirikan rumah untuk berteduh yang tidak jarang digunakan untuk bermalam sambil menjaga keladi mereka. Keladi tersebut dimakan saat bukan musim buah. Sebenarnya, makanan pokok suku Mentawai adalah sagu dan talas yang banyak tersedia di hutan secara liar. Pohon sagu tersebut diolah oleh kaum pria dengan peralatan tradisional dan manual supaya dapat memenuhi kebutuhan pokok penduduk. Hasilnya yang berupa endapan disimpan dalam langkin atau wadah yang terbuat dari daun sagu, disimpan selama 2-3 minggu baru dapat diproduksi sebagai pemenuh kebutuhan pangan. Sistem pertanian tunggal suku Mentawai sangat sederhana, hanya memerlukan lahan sekitar 0,25 sampai 0,50 haktarare, dari hutan yang ditebas dijadikan ladang, tapi tidak dibakar, yang sangat berbeda dengan sistim tanaman berpindah di daerah tropis lainya, dimana api merupakan bagian terpenting dari proses penebasan. Sistem ini mengisaratkan manusia hidup selaras dengan hutandan alam. Suku Mentawai sendiri sangat menjaga alam dan lingkungannya secara ketat, karena suku Mentawai tinggal di Kepulauan yang sangat mengenal laut, mereka juga memiliki insting untuk menagkap ikan dan dijual, penyu (dimakan dan meningkatkan gengsi). Ikan dihasilkan dari tangkapan di laut maupun sungai. Alat yang digunakan adalah lukah atau leggeu.
Selain itu, mereka beternak babi dan ayam, untuk menempatkan ternak mereka, dibuat pondok ternak. Supaya tidak tertukar, mereka menandai ternaknya masing-masing. Ternak ini digunakan jika diselenggarakan acara adat, perayaan perkawinan maupun denda adat. Pencarian hasil hutan seperti gaharu adalah untuk memenuhi pasar di luar Mentawai. Menurut informasi, gaharu tersebut diekspor ke Arab Saudi dan Singapura untuk bahan minyak wangi. Tata busana masyarakat asli Mentawai mencerminkan azas-azas legaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen). Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keanekaragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan. Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan sebut kabit.
Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daun daunan.
Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu.
C.   Kepercayaan dan Kebiasaan Masyarakat Mentawai
Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari. Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit, rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos yang biasanya berwarna merah, pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan, lei-lei, rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan, cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada, ogok, sejenis subang pada kedua telinga. Titi, merupakan identitas paling khas milik Mentawai. Kebiasaan ini adalah dengan cara merajah tubuh mereka menggunakan tinta daun.
Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk  menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya. Tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan diatas tubuh. Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya.
Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan (agama sekaligus kepercayaan). Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulungatau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse. Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (DewaLaut), Tai Kaleleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti, seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki.

Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punenenegat, atau upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti). Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato disekujur tubuhnya.
Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (kepercayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatoan yang dipakai adalahsejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan. Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat didada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung. Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam. Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam.
Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status kekayaan seseorang makin bertato, makin kaya. Dalam keyakinan masyarakat Dayak, contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Kepimimpinan yang jelas, tercermin dalam sistem religi, semua upacara-upacara tradisional mereka yang beragam, dipimpin oleh seorang Kerei atau Sikere (dukun, tokoh spritual).Agama asli orang Mentawai, Arat Sabulungan, percaya bahwa segala sesuatu punya roh masing-masing yang sama sekali terpisah dari raganya dan bebas berkeliaran di alam luas. Kekuatan terselubung dalam suatu benda yang bisa mengganggu manusia, mereka sebut ’bajao’. Karenanya harus diadakan upacara “pulaijat” (pembersihan uma) di waktu tertentu (selama 1 minggu, bahkan lebih). Selama itu mereka terkena aturan punen (ritual pelarangan mengerjakan tabu yang berkaitan dengan pulaijat).
D.   Tata krama Menikah
 Sikerei (pemimpin upacara) tidak terikat pada kelompok uma asalnya, ia dapat dipanggil memberi pengobatan di uma yang lain. Imbalan atas pengobatannya itu akan dibagi pada sesama anggota uma asalnya. Tiap roh berpengaruh satu sama lain, kepercayaan mereka dan kekuatan alam yang terselubung secara keseluruhan itu disebut “Kinaulau”. Kepercayaan asli ini mulai berangsur digantikan oleh agama Islam dan Kristen.
Meski masih ada yang menganut agama asli, setidaknya masih percaya roh-roh gaib. Orang Mentawai senang tari-tarian, diiringi beberapa buah gendang dan gong yang didapat dari pendatang. Bagi mereka tarian itu perlambang gerak alam sekitarnya. Pola kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan erat dengan punen (pesta-pesta suci) maupun syarat-syarat persembahan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka ladang dan sebagainya. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah & kesiapan materiyang lebih memadai. Ini tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep.  
Pernikahan resmi di Siberut memerlukan kesiapan sang lelaki, pertanggung- jawaban yang cukup berat bagi kelangsungan hidup calon istrinya. Jika sang lelaki dipandang telah mapan (ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi), perkawinan bisa diresmikan adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan “dewasa” secara sosial. Seseorang akan terhormat jika dia telah tinggal di rumah lalep, berarti pernikahannya telah diresmikan adat. pasangan resmi tersebut bisa bergabung dan tinggal di uma ayah dari sang suami. Jika rumah rusuk buat sementara, maka lalep dibangun permanen dan lebih baik. Lalep adalah rumah individual yang didirikan oleh lelaki kepala rumah tangga, bila uma orang tuanya penuh. Di masa lalu, keluarga dari beberapa lalep masih berusaha untuk mendirikan sebuah uma baru. Hal itu tampaknya sudah jarang dilakukan saat ini. Tarian khas etnis Mentawai disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan, sehingga judulnya pun disesuaikan dengan nama-nama hewan tersebut, misalnya tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya.
Makanan pokok masyarakat Mentawai adalah sagu, keladi dan jenis hewan buruan yang ada dihutan seperti burung dan babi. Matotonan adalah tanaman kecombrang, kincrung atau onje. Tanaman yang buahnya terasa asam ini merupakan tanaman obat bagi suku Mentawai dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Sepanjang perjalanan menyusuri hulu sungai hingga sampai di Matotonan memang tanaman kecombrang dan bambu mendominasi, dan di kawasan muara di dekat pantai adalah berawa-rawa dan di penuhi pohon-pohon sagu. Suku Mentawai memiliki pengetahuan yang luar biasa. Mereka mampu membaca masa depan dengan ramalan usus ayam dan usus babi. Atau menentukan bahaya, tanda-tanda baik atau masa panen dengan petunjuk gempa. Mimpi juga dapat dijadikan sebagai penjelasan hidup yang dibaca oleh Sekerei.




Marga Suku Mentawai
Pada masyarakat Suku Mentawai juga memiliki lebih 50 nama keluarga atau marga.

            1.      Anakalang                                                         
  1. Berisigep
            3.      Galet
  1. Gougou
  2. Kainde
  3. Kasirebbeb
  4. Laggaiku
  5. Leleu
  6. Malakopa
  7. Melei
  8. Oinan
  9. Paabanan
  10. Panandean
  11. Pangetuat
  12. Pasowbaliok
  13. Purorogat
  14. Sababalat
  15. Sabaggalet
  16. Sabajou
  17. Sabebegen
  18. Sabelau
  19. Sabola
  20. Sadodolu
  21. Saerejen
  22. Sagalak
  23. Sagoilok
  24. Sagugurat
  25. Saguntung
  26. Sagurug
  27. Sagurung
  28. Sagurung
  29. Saguruwjuw
  30. Saibuma


  1. Sailokoat
  2. Sakailoat
  3. Sakeletuk
  4. Sakerebau
  5. Sakerengan
  6. Sakeru
  7. Sakoan
  8. Sakobou
  9. Sakoikoi
  10. Sakukuret
  11. Sakulok
  12. Salabok
  13. Salaisek
  14. Salakkomak











·        Agama / Kepercayaan
           Kepercayaan Mentawai termasuk ke dalam Arat. Kumpulan dan himpunan dari upacara-upacara disebut dengan "Arat Sabulungan". Sabulungan berasal dari kata bulu yang berarti daun. Bahan-bahan untuk perangkat upacara keagamaan itu banyak menggunakan dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Macam-macam sabulungan:
  1. Taikamanua
    roh yang hidup di udara dan langit
  2. Taikapolak
    roh yang bertempat tinggal di bumi
  3. Taikabaga
    roh yang hidup di bawah tanah
  4. Roh-roh yang khusus menjaga binatang
    a. Taikaleleu
        - Samajuju, sebagai pelindung rusa
        - Taikatengaloina, pelindung binatang yang ada di atas pohon
    b. Taikbagakoat
        Pelindung bintanag di laut
Bahasa Mentawai adalah bahasa serumpun Austronesia yang penuturan bahasa tersebut ada di masyarakat Mentawai, lepas pantai Sumatera Barat. Masyarakat penutur bahasa ini berjumlah sekitar 64.000 jiwa. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Nias di Kepulauan Nias, Enggano di pulau Enggano dan Devayan Lekon di pulau Simalur. Bahasa Metawai juga berkerabat jauh dengan rumpun bahasa Batak.
            Awal mulanya adalah para peneliti linguistik mengelompokkan bahasa Mentawai dalam rumpun bahasa Batak. Hal ini berdasarkan kemiripan bahasa Mentawai dengan Bahasa suku Batak lain. Saat ini, bahasa Mentawai dikelompokkan ke dalam rumpun Bahasa Pesisir Pantai Sebelah Barat Sumatera. Klasifikasi bahasa Mentawai adalah Proto Malayo-Polynesian.
·       Tato Mentawai  adalah tradisi seni lukis tubuh bagi suku terasing di kepulauan Mentawai. Tato Mentawai dikenal dengan istilah titi. Tato ini merupakan tato yang sangat unik dan luar biasa karena memenuhi seluruh tubuh, mulai dari kepala sampai kaki. Bagi orang Mentawai, tato merupakan busana abadi yang dapat dibawa mati. Atau dengan kata lain, tato tradisi orang Mentawai hanya menjadi sebuah karya seni selama manusia yang memakainya hidup. Selain itu, tato ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi, yaitu untuk menunjukkan jati diri dan untuk perbedaan status sosial dalam masyarakat.     
                       
Tarian khas etnis Mentawai disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan, sehingga judulnya pun disesuaikan dengan nama-nama hewan tersebut, misalnya tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya.                                                                                  
·        Bahasa Suku Mentawai

Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah resmi Mentawai. Ada pun bahasa pemersatu bahasa Indonesia, namun semakin ke pedalaman jarang ditemukan penduduk yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
 Kruyt berpendapat bahwa bahasa orang mentawai ada 2 logat yaitu Simalegi (daerah siberut utara, tengah) dan dialek sakalagan (siberut selatan, sipora dan pagai). Sedangkan menurut K.H Pampus, mentawai dibagi menjadi 10 logat yaitu, sikakap, sipora, meileppet, sila’oinan, saibi, sagulubbe’, paipajet, simatalu, terekan dan simalegi.

·        Mata Pencaharian Suku Mentawai
Masyarakat suku Mentawai memiliki ketrampilan dalam pengurusan tanah menjadi ladang. Selain berburu hewan buruan, seperti babi, monyet, dan lain sebagainya mereka berladang keladi yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Alat yang digunakan adalah lukah atau leggeu. Selain itu, mereka beternak babi dan ayam, untuk menempatkan ternak mereka, dibuat pondok ternak. Supaya tidak tertukar, mereka menandai ternaknya masing-masing.
 
















SUKU MENTAWAI2.jpg
 



































turuk laggao.JPG
 































                                                         



Tato-Mentawai.jpg
 
































                                                                        







forum-message-33961-the_mentawai_2.jpg


Mentawai_Islands_Topography.png
 



































2 comments: