Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan
Mentawai.
Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah
pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di
Kepulauan Nusantara sebelah barat.
Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama
kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah
penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial
penggunanya.
Suku mentawai adalah suku kuno yang
bertinggal di kepulauan mentawai.
bagian dari sumatra barat dan utara.
bagian dari sumatra barat dan utara.
asal usulnya yang menjadi perdebatan
menjadikan suku itu suku yang misterius.
ada yang berpendapat termasuk bangsa polynesia ada yang berpendapat merupakan bangsa proto-malayan (melayu tua).
ada yang berpendapat termasuk bangsa polynesia ada yang berpendapat merupakan bangsa proto-malayan (melayu tua).
SUKU
KUNO MENTAWAI YANG TERLUPAKAN
Di provinsi Sumatera Barat
terdapat satu suku yang memiliki banyak kekhasan. Suku tersebut adalah suku
Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri
dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam
beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan
bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut
kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari
satu suku/uma dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut
yang kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa uma/suku.
Secara geografis, letak kepulauan Mentawai
berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang
lebih kurang 100 kilometer. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup
sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu
pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai banyak tinggal di
kampung-kampung. Kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman meski ada
yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima
wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besar
atau Uma. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma
mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat
dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit
kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai
balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-anggotanya yang
semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat
Agama/kepercayaan masyarakat Mentawai adalah
Arat Sabulungan. Arat berartiadat dan Sabulungan berarti bulu. Agama ini
memiliki pandangan bahwa segala sesuatu yang ada, benda mati atau hidup
memiliki roh yang terpisah dari jasad dan bebas berkeliaran di alam luas. Saat
ini agama masyarakat Mentawai sudah bervariasi. Hal ini mengingat sudah banyak
yang memeluk agama Islam atau Kristen. Dalam pemahaman masyarakat Mentawai
bukan manusia saja yang memiliki jiwa. Hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air
terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda memiliki jiwa. Selain
jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, seperti di
laut, udara, dan hutan belantara.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan. Hal itu terlihat dari cara
berpakaian tradisional masyarakat Mentawai. Para lelaki mengenakan Kabit yakni
penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian
tubuh atas dibiarkan telanjang. Untuk para wanita, mereka menutup tubuh
bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk
seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia
hingga berbentuk seperti baju.
Dalam hukum adat masyarakat Mentawai
terdapat pandangan mengenai hutan. Masyarakat Mentawai memiliki kepercayaan
bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, dan rawa
memiliki penjaga yaitu mahluk halus isebut lakokaina. Mereka yakin lakokaina
ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan
sampan, merambah/membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma maka
biasanya dilakukan secara bersama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja
dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan
(ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh
seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan/upacara.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan
kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial
tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga
"uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan
dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri
dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang
sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara
kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi
kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini. Struktur
sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma
mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang
mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin
upacara keagamaan.
Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri.
Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri.
Dalam berladang, khususnya dalam berladang
sagu, suku Mentawai juga menggunakan peralatan-peralatan tertentu.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam menanam sagu harus disertai dengan
tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga sedang berburu dengan busur dan panah,
sambil mencoba mendengarkan suara buruan. Alat-alat serta sistem teknologi
mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional seperti: tegle,
suki, lading, kampak.
A. Sejarah Singkat Suku Mentawai
Mentawai merupakan sebuah
kabupaten yang terletak di provinsi Sumatra Barat. Kabupaten Mentawai sendiri,
terletak sekitar 85-135 km dari pantai Sumatera Barat, dengan luas daratan
kurang lebih 7000 km². Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten
kepulauan yang terletak memanjang dibagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh
Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai
merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik, dan gugus kepulauan itu
merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Adapun
suku asli yang tinggal di daerah ini, yaitu suku Mentawai. Suku Mentawai
merupakan salah satu bukti keanekaragaman budaya Indonesia yang eksotik dan tak
ternilai harganya.
Suku ini termasuk suku terasing
yang hidup primitif di tempat terpencil. Geografis Mentawai memang sangat
jauh dari wilayah Indonesia yang lain. Sebagai gambaran, jika perjalanan
dimulai dari wilayah terdekat, yakni dari pelabuan teluk Bungus Padarig,
dibutuhkan waktu sekitar 10 sampai 12 jam menggunakan Kapal Ferry untuk sampai
ke kepulauan Mentawai. Oleh sebab itu, suku ini kurang dikenal, tidak jarang
salah sangka mengenai keberadaannya. Cara hidup dan budaya masyarakat Mentawai
menjadi suatu misteri. Masyarakat Mentawai sering dicampur adukkan dengan suku
Dayak di Kalimantan. Secara fisik, kedua suku tersebut memiliki kemiripan,
bahkan dengan suku di belahan bumi lain, seperti di Hawai, Marchesi, dan Fiji
yang berasal dari Lautan Teduh.
Tulisan ini merupakan catatan
objektif mengenai kehadiran suku Mentawai yang memiliki nilai sosial budaya
bagi bangsa Indonesia. Nama mentawai diambil dari bahasa asli penduduk
setempat, yaitu “SiMateu”. Ada pula yang beranggapan Mentawai berasal dari kata
“ Simatalu”, yang berarti Yang Maha Tinggi. Simatalu ini juga
merupakan nama sebuah daerah yang menurut cerita dahulu merupakan daerah yang
menjadi tempat bermukim lelaki dari Nias yang bernama Amatawe. Sehingga
dewasa ini dikenal sebagai tanah Mentawai. Selain itu, orang Mentawai disebut
orang Pagai oleh orang-orang dari daratan Sumatra, terutama masyarakat Sumatra
Barat.
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Suku
Mentawai
Orang-orang Mentawai memiliki
tipe Melayu Polinesia. Beberapa ahli berpendapat demikian karena
berdasarkan anatomi para ahli terhadap tubuh masyarakat Mentawai tergambar,
sebagai berikut :
• Berkulit kuning
• Bermata sipit
• Menggunakan cawat atau penutup aurat dari bahan
kulit kayu
Sementara menurut Neuman, sejak
dahulu Pulau Sumatra telah dihuni oleh orang-orang Polinesia yang kemudian
diusir oleh orang Melayu yang datang. Kemudian sisa-sisa Polinesia menetap di
Kepulauan Mentawai. Menurut Rosenberg, orang Mentawai memiliki kesamaan ciri
dengan penduduk Hawai, Marchesi dan Fiji yang berasal dari Lautan Teduh.
Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Ady Rosa, yang menyumbangkan hasil
penelitiannya, yaitu selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia
(300 SM), Inggris(54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii,
dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di
Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan
suku Sumbadi Sumatera Barat. Sedangkan Bikmore, Mess dan Moris berpendapat
bahwa orang Mentawai benar adanya orang Melayu, sama seperti orang Sumatra
lainnya. Diperkuat oleh Oudemans yang mengatakan bahwa rumpun penduduk Mentawai
serumpun dengan orang Batak dan orang Batu di Kepulauan Nias.
Meskipun ciri-ciri orang Mentawai
hampir mirip dengan suku lainnya, namun karakteristik yang terlihat secara
latenlah yang membedakan kepribadian suku Mentawai. Ditunjukkan dari seni,
kebiasaan, dan adat. Antara suku Mentawai dengan suku lainnya yang berada di
sekitar Mentawai terlihat sangat berbeda. Pada hunian mereka tak dijumpai
peradaban batu besar (menhir, dolmen& batu kubur). Fakta ini disebabkan
oleh lokasi baru huniannya, atau karena kecilnya unit populasi migran hingga
kurang tenaga untuk membangun artefak-artefak batu. Beberapa peralatan berburu
dan rumah tangga dari batu di Mentawai, sudah lama digantikan logam yang
didatangkan dari Sumatera. Temuan secarahistoris, bahwa 500.000 tahun lalu
(zaman Pleistocene), diperkirakan Kepulauan Mentawai terpisah dari daratan
Sumatra oleh naiknya permukaan air laut. Sejak itulah pulau ini terisolasi.
Persebaran suku Mentawai tidak
terelalu luas, buktinya mereka hidup berkelompok dan sangat tergantung
pada alam. Gugusan pulau di Kepulauan Mentawai sebenarnya cukup banyak, namun
yang dihuni hanya 4 pulau besar, yaitu Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan dan
Sipora. Selain itu, alam yang selalu tidak bersahabat yang menyebabkan Mentawai
tidak selalu dikenal orang. Butuh semangat dan keberanian tersendiri untuk
datang ke kepulauan yang masih jarang dikunjungi ini.Mereka bermukim di
kampung-kampung yang berfungsi sebagai tempat bermukim saja. Mereka hanya
memanfaatkan pekarangan untuk ditanami tebu yang digunakan airnya.
Kampung tersebut berada di
sungai-sungai pedalaman dan sebagian di dekat pantai. Pada dasarnya, kampung
Mentawai dibagi menjadi dua, yaitu kampung asli Mentawai dan kampung pemukiman
Departemen Sosial. Kampung asli terdapat 3 macam rumah. Uma, rumah induk besar
yang digunaakan untuk menyimpan benda-benda pusaka, untuk melakukan upacara dan
menyimpan tengkorak hasil buruan. Tiap uma dipimpin seorang “Rimata”. Biasanya
lelaki yang bijak & berpengalaman, tapi ada juga yang dipilih
berdasar keturunan. Rimata sebenarnya pemimpin adat uma itu sendiri. Kalau
ada yang dianggap pelopor biasanya adalah orang yang ahli dibidangnya, dan
tidak harus orangtua berpengalaman. Hubungan uma satu dengan yang lain dijaga
denganikatan pernikahan. Uma disekat-sekat menjadi kamar yang ditempati oleh
orang yang sudah menikah.
Sekat-sekat tersebut yang
dinamakan lalep. Lalep merupakan jenis rumah ke dua. Jika Uma sudah penuh, maka
rumah yang dibangun untuk anggota suku Mentawai yang sudah menikah itu
dinamakan Lalep. Rusuk merupakan rumah jenis ke tiga untuk menginap para pemuda
atau anak-anak muda dan janda yang diusir dari kampung. Ada pula yang disebut
dengan sikumang, adalah pondok untuk para janda yang terusir. Mereka
terenak babi. Rumah mereka memiliki laibokat atau laibo dan balapat
ka tei-tei. Yaitu beranda depan dan beranda belakang. Laibokat di labio
merupakan tempat yangdigunakan saat terjadi perbincangan kecil atau menerima
tamu. Di bagian belakang ada puturukat untuk menari, dan ada purusuat
untuk perapian. Tiang utama uma disebut ugala. Tiang kedua adalah kalabai.
Kerangka rumah dari kayu bakau, lantai dari batang nibung dan dinding dari
kulit kayu, sedang atapnya daridaun sagu.
Kampung pemukiman Departemen
Sosial merupakan rumah-rumah yang berbaris dengan rapi saling berhadapan
sepanjang jalan desa berbentuk panggung dengan kerangka balok kayu ukuran 6m x
12m. Di rumah tersebut terdapat 2 kamar berlantai dan dinding papan, beratapkan
seng. Metologi masyarakat Mentawai mengatakan bahwa mereka berasal di pulau
Siberut. Merka di ciptakan di Simatalu dan kemudian menyebar ke daerah pulau
sekitarnya. Penyebabnya beragam, seperti perpecahan keluarga kekerabatan, proyek
pemukiman Departemen Sosial, penduduk migrasi dari pulau lain
untuk keperluan berdagang, atau masyarakat lain seperti Minangkabau,
Batak, Jawa,Tiong Hoa, Hokian, Kek, bangsa Barat dan sebagainya. Pergeseran ini
juga disebabkan oleh rendahnya angka pertambahan penduduk yg dikarenakan
tingginya kematian bayi. Mobilitas amat kecil, namun ada juga mobilitas
karena sekolah dan berdagang. Sekolah para Mentawai ke sekolah katolik
karena adanya tangan penggubah para misionaris Katolik dan Kristen.
Meskipun mereka dianggap sebagai kaum perampas budaya dan jati diri suku
Mentawai, memaksa penduduk Mentawai amnesia terhadap kearifan lokal
mereka, namun para pendeta dan pastur ini memberikan sumbangan ilmu
terhadap suku tersebut. Hal ini menyebabkan distorsi budaya yang dibuktikan
dengan berkurangnya masyarakat Mentawai yang percaya terhadap Adat Bulungan,
kebiasaan adat titi dan cara berpakaian mereka, berdagang rotan atau
manau.
Gaharu atau samuite yang
dipasarkan ke Padang dan Pekanbaru merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan
sebagian penduduk suku Mentawai yang mengerti monetary (keuangan).
Masyarakat suku Mentawai memiliki ketrampilan dalam pengurusan tanah menjadi
ladang.
Selain berburu hewan
buruan, seperti babi, monyet, dan lain sebagainya mereka berladang keladi yang
banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Di ladang tersebut didirikan rumah
untuk berteduh yang tidak jarang digunakan untuk bermalam sambil menjaga keladi
mereka. Keladi tersebut dimakan saat bukan musim buah. Sebenarnya, makanan
pokok suku Mentawai adalah sagu dan talas yang banyak tersedia di hutan secara
liar. Pohon sagu tersebut diolah oleh kaum pria dengan peralatan tradisional
dan manual supaya dapat memenuhi kebutuhan pokok penduduk. Hasilnya yang berupa
endapan disimpan dalam langkin atau wadah yang terbuat dari daun sagu, disimpan
selama 2-3 minggu baru dapat diproduksi sebagai pemenuh kebutuhan pangan.
Sistem pertanian tunggal suku Mentawai sangat sederhana, hanya memerlukan lahan
sekitar 0,25 sampai 0,50 haktarare, dari hutan yang ditebas dijadikan ladang,
tapi tidak dibakar, yang sangat berbeda dengan sistim tanaman berpindah di
daerah tropis lainya, dimana api merupakan bagian terpenting dari proses
penebasan. Sistem ini mengisaratkan manusia hidup selaras dengan hutandan alam.
Suku Mentawai sendiri sangat menjaga alam dan lingkungannya secara ketat,
karena suku Mentawai tinggal di Kepulauan yang sangat mengenal laut, mereka
juga memiliki insting untuk menagkap ikan dan dijual, penyu (dimakan dan
meningkatkan gengsi). Ikan dihasilkan dari tangkapan di laut maupun sungai.
Alat yang digunakan adalah lukah atau leggeu.
Selain itu, mereka beternak babi
dan ayam, untuk menempatkan ternak mereka, dibuat pondok ternak. Supaya tidak
tertukar, mereka menandai ternaknya masing-masing. Ternak ini
digunakan jika diselenggarakan acara adat, perayaan perkawinan maupun
denda adat. Pencarian hasil hutan seperti gaharu adalah untuk memenuhi pasar di
luar Mentawai. Menurut informasi, gaharu tersebut diekspor ke Arab Saudi
dan Singapura untuk bahan minyak wangi. Tata busana masyarakat asli Mentawai
mencerminkan azas-azas legaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada
strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih
ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara
khusus tentang penghormatan arwah (punen). Selain itu busana juga mengungkapkan
ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang
tropis, berhutan lebat berikut keanekaragaman floranya. Hal ini antara
lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan. Salah satu
kelengkapan busana suku Mentawai yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat,
penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan sebut kabit.
Kaum wanita memakai sejenis rok
yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan
kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai,
orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang
benar-benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang
terbuat dari untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daun daunan.
Kalung manik-manik yang sangat
impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan,
terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau.
Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik.
Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan
aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang
manik pangkal lengan disebut lekkeu.
C. Kepercayaan dan Kebiasaan
Masyarakat Mentawai
Tampilan busana selengkapnya suku
Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk
menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu
kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana
kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan
ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari. Busana
kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi sobok, sejenis
kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit, rakgok, ikat pinggang dari
lilitan kain polos yang biasanya berwarna merah, pakalo, botol kecil tempat
ramuan obat-obatan, lei-lei, rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan,
cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada, ogok, sejenis subang pada
kedua telinga. Titi, merupakan identitas paling khas milik Mentawai. Kebiasaan
ini adalah dengan cara merajah tubuh mereka menggunakan tinta daun.
Bagi orang Mentawai, tato
merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini,
salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status
sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, berbeda dengan tato ahli berburu.
Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa,
kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu
di badannya. Tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam.
Benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan diatas tubuh.
Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas
menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya.
Kedudukan tato diatur oleh
kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan (agama sekaligus kepercayaan).
Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulungatau daun.
Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau
rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse. Inilah yang kemudian
dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (DewaLaut), Tai Kaleleu (roh
hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai
dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan
penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua
memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan
hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti, seniman
tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat,
seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki.
Keahliannya harus dibayar dengan
seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punenenegat, atau upacara inisiasi
yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti). Setiap orang
Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato disekujur
tubuhnya.
Pembuatan tato sendiri melewati
proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (kepercayaan
kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam
sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari
luar. Sebelum ada jarum, alat pentatoan yang dipakai adalahsejenis kayu karai,
tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan. Tubuh bocah
yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu
kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan
kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna
yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Janji
Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan.
Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola
durukat didada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi
puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung. Proses
pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa
sakit dan bahkan menyebabkan demam. Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat
Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam.
Diduga, dari sinilah orang
Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik
dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di
Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku
Maori di Selandia Baru. Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis
dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status
kekayaan seseorang makin bertato, makin kaya. Dalam keyakinan masyarakat Dayak,
contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan
kepada leluhur. Kepimimpinan yang jelas, tercermin dalam sistem religi, semua
upacara-upacara tradisional mereka yang beragam, dipimpin oleh seorang Kerei atau
Sikere (dukun, tokoh spritual).Agama asli orang Mentawai, Arat
Sabulungan, percaya bahwa segala sesuatu punya roh masing-masing yang sama
sekali terpisah dari raganya dan bebas berkeliaran di alam luas. Kekuatan
terselubung dalam suatu benda yang bisa mengganggu manusia, mereka sebut
’bajao’. Karenanya harus diadakan upacara “pulaijat” (pembersihan uma) di waktu
tertentu (selama 1 minggu, bahkan lebih). Selama itu mereka terkena aturan
punen (ritual pelarangan mengerjakan tabu yang berkaitan dengan pulaijat).
D. Tata krama Menikah
Sikerei (pemimpin upacara)
tidak terikat pada kelompok uma asalnya, ia dapat dipanggil memberi pengobatan
di uma yang lain. Imbalan atas pengobatannya itu akan dibagi pada sesama
anggota uma asalnya. Tiap roh berpengaruh satu sama lain, kepercayaan mereka
dan kekuatan alam yang terselubung secara keseluruhan itu disebut “Kinaulau”.
Kepercayaan asli ini mulai berangsur digantikan oleh agama Islam dan Kristen.
Meski masih ada yang menganut
agama asli, setidaknya masih percaya roh-roh gaib. Orang Mentawai senang
tari-tarian, diiringi beberapa buah gendang dan gong yang didapat dari
pendatang. Bagi mereka tarian itu perlambang gerak alam sekitarnya. Pola
kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan erat dengan punen (pesta-pesta suci)
maupun syarat-syarat persembahan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka
ladang dan sebagainya. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat
diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang
belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan
rumah sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah & kesiapan
materiyang lebih memadai. Ini tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam
sistem sosial, ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep.
Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan
rumah sendiri yang disebut rumah lalep.
Pernikahan resmi di Siberut
memerlukan kesiapan sang lelaki, pertanggung- jawaban yang cukup berat
bagi kelangsungan hidup calon istrinya. Jika sang lelaki dipandang telah mapan
(ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi), perkawinan bisa
diresmikan adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan “dewasa” secara
sosial. Seseorang akan terhormat jika dia telah tinggal di rumah lalep, berarti
pernikahannya telah diresmikan adat. pasangan resmi tersebut
bisa bergabung dan tinggal di uma ayah dari sang suami. Jika rumah rusuk
buat sementara, maka lalep dibangun permanen dan lebih baik. Lalep adalah
rumah individual yang didirikan oleh lelaki kepala rumah tangga, bila uma orang
tuanya penuh. Di masa lalu, keluarga dari beberapa lalep masih berusaha untuk
mendirikan sebuah uma baru. Hal itu tampaknya sudah jarang dilakukan saat
ini. Tarian khas etnis Mentawai disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan,
sehingga judulnya pun disesuaikan dengan nama-nama hewan tersebut, misalnya
tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya.
Makanan pokok masyarakat Mentawai
adalah sagu, keladi dan jenis hewan buruan yang ada dihutan seperti burung dan
babi. Matotonan adalah tanaman kecombrang, kincrung atau onje. Tanaman
yang buahnya terasa asam ini merupakan tanaman obat bagi suku Mentawai
dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Sepanjang perjalanan menyusuri
hulu sungai hingga sampai di Matotonan memang tanaman kecombrang dan bambu
mendominasi, dan di kawasan muara di dekat pantai adalah berawa-rawa dan
di penuhi pohon-pohon sagu. Suku Mentawai memiliki pengetahuan yang luar
biasa. Mereka mampu membaca masa depan dengan ramalan usus ayam dan usus babi.
Atau menentukan bahaya, tanda-tanda baik atau masa panen dengan petunjuk gempa.
Mimpi juga dapat dijadikan sebagai penjelasan hidup yang dibaca oleh Sekerei.
Marga Suku Mentawai
Pada
masyarakat Suku Mentawai juga memiliki lebih 50 nama keluarga atau
marga.
1.
Anakalang
- Berisigep
3.
Galet
- Gougou
- Kainde
- Kasirebbeb
- Laggaiku
- Leleu
- Malakopa
- Melei
- Oinan
- Paabanan
- Panandean
- Pangetuat
- Pasowbaliok
- Purorogat
- Sababalat
- Sabaggalet
- Sabajou
- Sabebegen
- Sabelau
- Sabola
- Sadodolu
- Saerejen
- Sagalak
- Sagoilok
- Sagugurat
- Saguntung
- Sagurug
- Sagurung
- Sagurung
- Saguruwjuw
- Saibuma
- Sailokoat
- Sakailoat
- Sakeletuk
- Sakerebau
- Sakerengan
- Sakeru
- Sakoan
- Sakobou
- Sakoikoi
- Sakukuret
- Sakulok
- Salabok
- Salaisek
- Salakkomak
· Agama / Kepercayaan
Kepercayaan Mentawai termasuk ke dalam Arat. Kumpulan dan himpunan dari
upacara-upacara disebut dengan "Arat Sabulungan". Sabulungan
berasal dari kata bulu yang berarti daun. Bahan-bahan untuk perangkat upacara
keagamaan itu banyak menggunakan dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Macam-macam sabulungan:
- Taikamanua
roh yang hidup di udara dan langit - Taikapolak
roh yang bertempat tinggal di bumi - Taikabaga
roh yang hidup di bawah tanah - Roh-roh yang khusus menjaga
binatang
a. Taikaleleu
- Samajuju, sebagai pelindung rusa
- Taikatengaloina, pelindung binatang yang ada di atas pohon
b. Taikbagakoat
Pelindung bintanag di laut
Bahasa
Mentawai adalah bahasa serumpun Austronesia yang penuturan bahasa tersebut ada
di masyarakat Mentawai, lepas pantai Sumatera Barat. Masyarakat penutur bahasa
ini berjumlah sekitar 64.000 jiwa. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Nias di
Kepulauan Nias, Enggano di pulau Enggano dan Devayan Lekon di pulau Simalur.
Bahasa Metawai juga berkerabat jauh dengan rumpun bahasa Batak.
Awal mulanya adalah para peneliti linguistik mengelompokkan bahasa Mentawai
dalam rumpun bahasa Batak. Hal ini berdasarkan kemiripan bahasa Mentawai dengan
Bahasa suku Batak lain. Saat ini, bahasa Mentawai dikelompokkan ke dalam rumpun
Bahasa Pesisir Pantai Sebelah Barat Sumatera. Klasifikasi bahasa Mentawai
adalah Proto Malayo-Polynesian.
· Tato
Mentawai adalah tradisi seni lukis tubuh bagi suku terasing di kepulauan Mentawai. Tato Mentawai dikenal dengan istilah titi.
Tato ini merupakan tato yang sangat unik dan luar biasa karena memenuhi seluruh
tubuh, mulai dari kepala sampai kaki. Bagi orang Mentawai, tato merupakan
busana abadi yang dapat dibawa mati. Atau dengan kata lain, tato tradisi orang
Mentawai hanya menjadi sebuah karya seni selama manusia yang memakainya hidup. Selain
itu, tato ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi, yaitu untuk menunjukkan jati diri dan untuk
perbedaan status sosial dalam masyarakat.
Tarian khas etnis Mentawai
disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan,
sehingga judulnya pun disesuaikan dengan nama-nama hewan tersebut, misalnya
tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya.
·
Bahasa Suku Mentawai
Bahasa yang mereka gunakan adalah
bahasa daerah resmi Mentawai. Ada pun bahasa pemersatu bahasa Indonesia,
namun semakin ke pedalaman jarang ditemukan penduduk yang mampu menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kruyt berpendapat bahwa bahasa orang mentawai
ada 2 logat yaitu Simalegi (daerah siberut utara, tengah) dan dialek sakalagan
(siberut selatan, sipora dan pagai). Sedangkan menurut K.H Pampus, mentawai
dibagi menjadi 10 logat yaitu, sikakap, sipora, meileppet, sila’oinan, saibi,
sagulubbe’, paipajet, simatalu, terekan dan simalegi.
·
Mata Pencaharian Suku
Mentawai
Masyarakat suku Mentawai memiliki
ketrampilan dalam pengurusan tanah menjadi ladang. Selain berburu hewan buruan,
seperti babi, monyet, dan lain sebagainya mereka berladang keladi yang banyak
dilakukan oleh kaum perempuan. Alat yang digunakan adalah lukah atau
leggeu. Selain itu, mereka beternak babi dan ayam, untuk menempatkan ternak
mereka, dibuat pondok ternak. Supaya tidak tertukar, mereka menandai ternaknya
masing-masing.
terimakasih atas infonya :)
ReplyDeletesama sama sist :)
ReplyDelete